Yogya Terhempas Dalam Puisinya
Karya :
Jemari-Nya mencelup di laut
Melentikkan ke dasar bumi
Yang termenung melihat manusia
berwajah setengah putih,
setengah hitam
Matahari meninggalkan tubuhnya
di ujung cakrawala pagi
Keheningan, seketika hingar bingar
Malaikat pencabut nyawa bernyanyi
dalam nada – nada datar
Menari dengan cahaya di tangan
dalam senandung gempa
Ruh – ruh orang Yogya dan
saat fajar membuka rok-nya
di atas bumi
Melenggang di atas gunung merapi
Berguling – guling di kaki gunung
Melompat – lompat di atas genting
Keraton Yogyakarta yang rapuh
Bercanda di tanah Mataram
dengan kaki terbuka dan luka
Kematian tidak dapat ditangkis
dengan teknologi manusia
Takdir tidak mau bermain dengan waktu
Waktu mengejar waktu, dikejar waktu
Yogya dulu tersimpan dalam museum imajinasi
Alun – alun utara dan selatan dibasahi air mata kenangan
Parangtritis dan Samas terdiam sejenak,
Ketika urat – urat gempa menggelitik dan meludahinya
Semua wayang kabur,
nempel di tembok – tembok benteng keraton
Menjadi bayangan masa lalu
Menjadi sejarah tak tertulis
Menjadi ruh – ruh setia para abdi dalam
Menjadi dalang yang membisu,
duduk bersila di atas pojokan benteng
lalu berkata :
“Aku adalah dalang yang palsu,
membawakan lakon – lakon yang palsu.
Hingga gempa menukar kejayaan dengan keruntuhan.
Akulah sang palsu itu. Yang mendatangkan kemurkaan-Nya.”